My Family

Dalam do'a, kuhaturkan segala harapan semoga bisa berjumpa dan berkumpul kembali dalam kebahagiaan hidup di akhirat nan abadi

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

25 November 2010

Satu Rumah Beda Hari Raya

Perbedaan hari raya Iedul Adha 1431 H kemarin, mengingatkan saya pada ayah dan keluarga.

Sejak masa-masa di Aliyah (Mu'allimin), ketika terjadi perbedaan hari raya, saya suka berbeda dengan ayah dan keluarga. Keluarga biasanya ikut serta kepada ayah. Sesuatu yang memang seharusnya, turut kepada kepala keluarga sebagai nakhoda rumah tangga. Walaupun saat itu, saya berpikiran lain. Tapi, antara saya dan ayah beserta keluarga tetap saling menghargai keyakinan masing-masing. Saya punya landasan, ayah pun tentunya berada di suatu landasan tertentu. Hanya saja, ketika ayah mengeluarkan zakat (termasuk zakat untuk saya), saya biasanya mengeluarkan lagi di tempat lain. Saya berpandangan bahwa zakat adalah ibadah yang sudah ditentukan kadar dan waktunya, apalagi zakat fithri. Pemberian kepada mustahiq, berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari, sangat terbatas waktunya, yakni antara shalat Shubuh hingga dimulainya shalat Ied di lapangan tempat shalat. Karena inilah, saya menentukan sikap lain. Tapi, apa yang dikeluarkan oleh ayah saya, tidak pernah saya meminta agar diambil lagi. "Biarkan itu sebagai shadaqah biasa," kata saya suatu ketika, "mudah-mudahan menjadi amal ibadah bagi Ayah".

Waktu itu, saya memang jarang ada di rumah. Tapi, di waktu-waktu tertentu, saya sering juga mendiskusikannya dengan ayah. Tentu dalam suasana yang nyaman. Orangtua, toch, harus kita hormati. Dari diskusi itulah, saya dapat memahami bahwa titik perbedaan, pada dasarnya, disebabkan karena memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya berdasar pada perhitungan hisab, sedangkan Ayah berdasar pada instruksi imamnya.

Beberapa kejadian perbedaan hari raya, saya selalu begitu. Di satu rumah ada dua hari raya. Biasanya ayah dan keluarga lebih dahulu berhari raya. Saat itu, saya jarang ada di rumah.

Setiap kali terjadi perbedaan, saya selalu berdiskusi. Curhat sana, curhat sini. Lama kelamaan, di suatu waktu, saya bertanya, "Pak, kalau saya berhari raya besok karena landasan hisab hasil perhitungan Al-Ustadz A. Ghazali dari Persatuan Islam". "Kalau Bapak?" tanya saya, "Apakah hanya karena instruksi imam, tanpa kita ketahui landasannya secara jelas dan tegas, kemudian kita taat?". Saya mencoba membuka pemikiran. Walaupun ini termasuk ke dalam bingkai ijtihad, saya berpikir bahwa landasan utama jamaah Ayah bukan berdasar ilmu (baik hisab maupun rukyat), tetapi karena masalah politik (NII-RI). Saya terus mendesak agar Ayah bisa memberikan hujjahnya selain dari ketaatan kepada imam. Saya khawatir jika keputusan yang diambilnya ternyata salah, walaupun dalam ajaran Islam "taat kepada pemimpin" memiliki posisi hukum tersendiri.

"Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw pernah bersabda," kata saya, "Tidak ada kewajiban taat (kepada pemimpin) dalam hal maksiat kepada Allah Ta'ala". Saya bawakan hadis ini mengingat hal di atas, yakni landasan ayah adalah semata-mata instruksi imam yang tidak jelas hujjahnya kecuali penafsirannya terhadap istilah dan kedudukan thagut dalam al-Quran. Saya berpikir bahwa apa yang menjadi landasan saya waktu itu tidak ada kaitan dengan posisi "thagut" (dalam istilah jamaah tersebut). "Ini masalah ilmu, bukan masalah taat pada pemerintahan," itulah pemikiran yang muncul dalam benak saya waktu itu.

Saya sebenarnya memiliki peluang besar untuk merubah gaya berpikir dan landasan amal ayah saya. Karena beliau lebih tahu, siapa dan bagaimana perhitungan al-Ustadz A. Ghazali, ahli hisab dari Persatuan Islam itu. Apalagi beliau pernah aktif di Pemuda Persis. Dari obrolan itu saya merasa bahwa keterkaitan dirinya dengan Persis masih kuat. Begitu juga kepercayaannya terhadap landasan yang digunakan oleh Persis masih tertanam dalam jiwanya.

Akhirnya, kira-kira empat tahun sebelum beliau meninggal dunia, saat terjadi lagi perbedaan hari raya, beliau berubah haluan. Seluruh keluarga berhari raya sesuai dengan dasar-dasar perhitungan hisab. Tetapi apa akibat yang diterima oleh ayah dari jamaahnya? Beliau "diasingkan" dan dipandang "menghidupkan" kembali "ajaran" Persis dalam dirinya. Para jamaah pun memandang dengan penuh curiga dan prasangka-prasangka buruk lainnya.

"Pak, mudah-mudahan sikap yang Bapak ambil waktu itu sesuai dengan hakikat dan tujuan syariat, walaupun terasa asing di jamaah sendiri". Allohummaghfir lahu war hamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu wa akrim nuzulahu wa wassi' madkhalahu........ Amin".


Video

Langganan Artikel Gratis

Dengan mengisi data di sini, sobat akan menerima artikel-artikel baru dari kangyosep.blogspot.com

Masukkan alamat email sobat di sini:

Dipersembahkan oleh: LANGGANAN KAMI